Kamis, 14 Agustus 2014

Terimakasih Pak, Aku Bisa Kuliah


Terimakasih Pak, Aku Bisa Kuliah

“Buk, aku lulus...” Suaraku lantang dengan nada semangat membumbung tinggi membawa kabar yang pasti sudah Ibu nantikan.
“Alhamdulillah, nduk. Nilaimu lumayan bagus, nduk. Piye rencanamu nanti?”
Aku diam sejenak, lidahku yang spontan melemah, keinginanku menguap begitu saja menatap iba menyerang wajah manis ibu, matanya tak bergerak menatap selembar kertas yang sedang dipegang erat di tangannya. Dengan langkah lembut ibu menghampiriku.
Aku menunduk lesuh. Tangannya mengelus balutan jilbab yang lekat di kepalaku. Ibu tersenyum perih. Aku menangkap banyak hal atas ulasan senyum yang Beliau sajikan padaku. Mungkin dengan caranya ibu berbicara padaku. Mungkin “Nduk,  ibu usahakan kamu bisa tetap kuliah sampai mendapat gelar yang kamu mimpikan” atau  “Simpan saja nduk ijazahmu, Ibu tidak sanggup membiayai kuliahmu nanti.”  Tangan lembutnya kini berpindah merangkulku erat-erat, terasa cairan hangat menjatuhi kepalaku samar,  hatiku seolah dihantam jutaan batuan, relung-relung batinku mendingin. Kepalaku sedikit mendongak menatap wajah manis Ibuku yang sudah dihujani air matanya membuat rangkulan ibu sedikit melonggar. Namun, tangan Ibu seolah sangat kuat dan erat tak membiarkan rangkulannya terlepas. Batinku seolah panas menatap wajah Ibuku, seolah aku ingin sekali menjerit.  “Apakah memang miskin adalah sebuah kendala besar dalam menuntut ilmu? Apakah harta selalu menjadi barang sakral dalam mendapatkan sesuatu? Apakah aku bisa melanjutkan studiku ini?” Gumamku dalam hati. Aku menghela napas panjang dan menghembus perlahan, “Buk, ibuk ndak perlu sedih..Insya Allah ijazah ini cukup untuk mendapat pekerjaan layak. Firly sudah sangatlah bersyukur, buk. Alhamdulillah, Firly sudah ditanyakan lulus. Firly sudah dapat ijazah, buk. Lihat, anak ibuk lulus.. Ini ijazah Firly, buk. Aku sayang kalih ibuk. Ibuk, kuliah itu untuk anak konglomerat. Firly ndak pantas nyemplung di dunia mereka, Ibuk. Sampun buk, Firly tadi dapat tawaran kerja di tokonya Mbak Ajeng, buk. Nggih, jaga toko.” Aku membuat senyuman lembut untuk menenangkan Ibuku, walaupun sebenarnya aku sangat ingin duduk di bangku kuliah. Mengenakan hem, merangkul buku-buku yang lebih ringan, seperti yang sudah aku lihat di sinetron-sinetron.

“Assalamualaikum..”  
“Loh buk, mbak,  sampeyan ini berdua kenapa?” Dahi adikku yang mengeryit, alisnya samar. Wajahnya terlihat dipenuhi kebingungan.
“Oh, ndak papa nduk, seragamnya dilepas gih.” Timpal ibuku mengelap air mata yang sudah mulai mengering di pipinya.
Adikku yang menatap tajam kertas lembaran yang dibawa ibu. Tubuhnya mematung, matanya berkaca-kaca. “Buk, mbak ndak bisa melanjutkan kuliah ya?” Tanya adikku mulai menggerakkan tulang-tulang ketabahanku.
Ibuku terdiam, senyumnya tergurat dengan mata yang masih berkaca-kaca. Ibu mengulurkan tangan kanannya, melingkarkannya pada tubuh mungil adikku yang masih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar itu. Kini kami sama-sama berpelukan. Dengan lembut ibu mencium kening kami satu per satu, aku dan adik dengan sangat tulus. Adikku mengangkat wajahnya, menatap ibuku yang terlihat menua, “Buk, Intan pingin kuliah. Intan pingin jadi guru. Aku pingin kayak mbak Firly. Mbak Firly bilang, jadi guru itu rejekinya barokah buk, walaupun aku tidak bisa beramal dengan harta. Tapi, aku pingin ilmu-ilmu nanti yang juga bisa menolong pas aku dihisab di akhirat buk. Intan bisa kuliah kan, buk?”
Pertanyaan Intan adikku amat menyiksaku, pertanyaan Intan spontan membuat Ibu menitikkan air matanya lagi. Kini semakin deras, air mata sudah membanjiri wajah manis ibuku, ibu seperti sudah kehabisan kata-kata, “Kalian berdoa ya, nduk.” Matanya teduh menatap kami bergantian. Dan mengulangi ciuman pada kening kami secara bergantian.

****
Matahari nyaris sepenuhnya tenggelam, rumah-rumah mulai bersolek dengan cahaya-cahaya lampu yang menyemburat dari kaca-kaca jendela. Suasana mulai temaram.
“Assalamualaikum, bapak pulang..” Tangan kanannya melepas topinya, menggantungkannya pada paku yang tertancap pada dinding rumah.
“Waalaikumsalam, Pak..” Dari dalam kamar aku menghampiri Bapak untuk mendapatkan tangannya  agar aku dapat menunjukkan rasa hormatku yang amat dalam padanya. Aku menghentikan langkahku, mendapati bapak memegang lembaran kertas dengan matanya berkaca-kaca.
“Pak, a..aku, anak bapak lulus, Pak. Itu ijazah kulo, Pak.”
“Maafkan Bapak nggih, nduk. “
Bapak menatapku lembut, seakan lewat tatapan itu beliau mencoba meyakinkanku untuk mengurungkan niat kuliahku. Aku  tersenyum, menghela napas panjang, dan menghembuskan udara kepasrahan, mencoba menenangkan hati bapak. “Mboten pak, Firly sampun ketrami kerja di tokonya Mbak Ajeng. Insya Allah barokah. Lumayan, buat bantu-bantu bapak kalih ibuk bayar sekolah Intan.”
Bapak mengeryitkan kening, guratan senyumnya lebar tertahan, “Alhamdulillah, sabar ya, nduk. Bapak ndak bisa buat takdir, Bapak hanya berusaha merubah takdir. Gusti Pangeran menitipkan hikmah pada cobaan, nduk. Sampeyan ndak perlu khawatir, nggih.” Timbal bapak mengelus-ngelus jilbab yang melingkar pada wajahku.
“Nggih, Pak. Insya Allah..”

Kuliah itu mimpi buat anak buruh tani seperti aku. Melewati lobbi-lobbi perguruan tinggi hanya hal yang hanya bisa aku rasakan ketika aku melamun. Aku tak boleh membiarkan bakteri keinginan untuk kuliah terus menggeroti benakku. Aku tidak boleh terus mengeluh. Seandainya dengan mengeluh aku bisa kuliah. Sayang sekali, keluhan malah membuatku semakin gelisah. Aku berusaha mengalihkan cita-cita kuliahku dengan mencoba memikirkan hal baru selain kuliah. Di benakku melintas bayang-bayang aku harus berdiri memasang senyuman pada setiap orang-orang yang datang, mengucapkan “Selamat datang, ada yang dapat saya bantu?” pada pelanggan-pelanggan toko mbak Ajeng. Ya, aku sedang melampiaskan dengan membayangkan jadi pegawai toko Mbak Ajeng. Barangkali pengharapan atas senyuman Ibuk dan Bapak  membuat aku selalu bisa bertahan.

Di sini, di toko Mbak Ajeng. Aku merasa diberkati dengan pengalaman yang tak terduga. Bahwa bekerja memang tidak mudah, mencari sesuap nasi harus rela punggung kaku, paha ngilu, sungguh penat luar biasa selalu menyerangku. Tapi, aku mencoba berkonsentrasi penuh, bagaimana dengan bapak, beliau yang selama ini membopong cangkulnya di bahunya dengan berkilo-kilo jarak beliau hadang dengan kaki-kakinya yang menapak kerasnya jalanan galangan sawah, bermain-main dengan cangkulnya, bahkan rasa perih dari telapak kaki yang terpanggang panas matahari di sawah selalu beliau abaikan. Tidak, aku harus mengumpulkan semangatku lagi sama seperti sekolah dulu. Jangan karena aku tak dapat melanjutkan kuliah, semangatku memadam, lalu mati begitu saja. Aku sangat tak membiarkan jika diriku takluk dengan nasibku kali ini. Aku harus cepat-cepat merubah nasibku, ya, aku bisa kuliah. Aku akan mengumpulkan sisa uang dari hasil kerjaku, menelateni kerja di toko Mbak Ajeng. Untung saja, Mbak Ajeng orang yang sangatgrapyak,dia selalu pandai menebak ekspresi seseorang. Bahkan dia segan memberiku ijin pulang padaku saat aku merasa tak enak pada badanku. Aku sangat bersyukur...
Seperti biasa, aku pulang ke rumah selepas shalat ashar setelah nyaris seharian kerja di toko Mbak Ajeng. Aku langsung ke kamarku yang letaknya bersisian dengan dapur. Seperti biasa pula, sahabat terbaikku kala sore hari terasa selalu mengingatkanku akan kewajibanku, aku pun segera meraihnya di cantolan rak sapu. Entah kenapa, benda mati itu selalu mendekam di otakku yang mendadak menjadi alarm, dan aku selalu otomatis memfungsikan dia menjadi seksi bersih-bersih rumahku. Dari dapur hingga latar depan rumah. Sampai kotoran pun takluk pada benda ajaib ini. Sampai bersih, sebersih-bersihnya.

“Pak, ini kopi bapak. Firly taruh di sini, nggih.” Aku menghampiri meja kecil yang berdiri di samping bapak dan menempatkannya. Aku membalikkan tubuh, menghampiri Bapak.
“Sedang benahin apa, Pak. Sampun dalu, bapak mboten sare?” Wajahku yang sesak pertanyaan memang seperti sudah tertebak oleh bapak.
“Ini nduk, sepatu Intan. Dia malu, sudah bolong. Ini lihat.. Bapak hanya sedikit membetulkannya.” Bapak mengulas senyum teduhnya, menatapku sekilas dan kembali konsentrasi pada sepatu adik perempuanku, Intan.
Urat nadiku terasa melumpuh, jantungku terasa dihantam algojo, jiwaku terasa terguncang. Aku menghembuskan nafas iba mendalam menatap wajah bapak dalam-dalam, menatap rasa bersalah bapak terhadap sepatu itu, seolah api semangat menyala-nyala. Bapak sangat terfokus pada sepatu Intan. Tangannya pun sangat teliti. Aku tak kuasa membendung air mataku, tapi aku berusaha menggerakkan benih-benih ketegaran dalam jiwaku. Aku tidak boleh menangis di depan bapak. Pikiranku melayah, “Aku akan membelikan adik sepatu baru setelah aku menerima gajiku nanti.” Aku pun menyodorkan senyuman terbaikku pada bapak.
“Bapak, tidur dulu saja, seharian bapak sudah kerja. Biar Firly saja yang membenahi sepatu adik. Monggo bapak sare rumiyin.”
“Kamu memang anak baik, nduk. Bapak bangga dianugerahi anak sepertimu.”
“Firly bersyukur punya bapak seperti bapak. Firly sayang kalih bapak.”

****
“Buk, bapak dimana?” Tanyaku pada ibu dengan wajah bingung melebar.
“Bapak pergi nyawah.” Terang ibu, nadanya santai.
Aku terdiam, sekonyong-konyong Intan merusak lamunanku. Pandanganku pun beralih ke Intan, adikku.
“Buk, sepatu Intan sudah ngga bolong, ya, walaupun terasa sejuk di bagian telapak. Kapan Intan bisa beli sepatu baru ya, buk?”
Ibuku mematung, menghela nafas berat. “Sabar nggih, nduk.”
“Ndak papa buk ini masih bagus, Intan masih sayang sama sepatu Intan ini. Buk, Intan berangkat dulu nggih.” Tangan kanannya terangkat dan berusaha meraih tangan Ibu untuk diciumnya sebagai tanda hormatnya. “Ayoo mbak, berangkat. Assalamualaikum.”
Akupun melakukan hal yang sama dengan Intan, meraih tangan Ibu dan menempelkannya pada pipiku.

“Ini , Fir.”
Aku pun segera membetulkan kerudung dan mengulurkan tangan mengambil amplop yang disodorkan mbak Ajeng. “Alhamdulillah, suwun mbak. Loh bukannya, seminggu lalu gaji bulan ini sudah mbak kasih?”
“Sama-sama, Fir. Kamu sudah banyak membantu di tokoku. Anggap saja itu uang jajan. Jadi, kapan kamu kuliah?”
Pertanyaan Mbak Ajeng sontak membuat darah mengalir dengan frekuensi lebih cepat, denyut jantungku yang sudah terasa tidak normal seperti berkejar-kejaran, aku pun berusaha menyusun kata-kata tepat untuk menjawab pertanyaan yang menyiksaku ini.
“Fir, kamu pulanglah sekarang. Kamu berangkatlah kuliah.”
“Maksud mbak apa? Firly bekerja di sini mbak, Firly menelateni toko mbak ini. Insya Allah gaji Firly nanti akan bisa menerbangkan Firly di dunia perkuliahan.”
Wis toh, kamu cepet pulang. Ibumu menunggumu...”

Aku benar-benar tak mengerti maksud ucapan Mbak Ajeng. Aku pun segera berpamitan pulang dan nadi-nadi penasaran mengejang. Dalam perjalanan pulang, aku menghentikan langkahku, aku menatap dua sepatu, bentuknya mungil dan manis sekali. Pandanganku tentang sepatu itu yang tidak fokus musabab pikiranku melayah pada kaki-kaki Intan yang nanti akan indah jika memakai sepatu itu. Aku pun mengangkat kakiku, segera aku mengambil sepatu itu. Aku yakin Intan pasti senang akan sepatu ini.

****
Sesampai di rumah, suasana duka menenggelamkan semangatku instan. Rasa penasaranku kian menyusut drastis. Lafal surat-surat yasin sungguh membuat jantungku berhenti. “Ada apa ini? Apa yang sedang terjadi di rumahku?”
Aku menghampiri tentanggaku yang sibuk menghantamkan palu pada susunan bambu-bambu. Pikiranku sudah menebak-nebak, peluh dingin mengalir tak sempat ku seka, air mataku yang masih rapi tersangkut pada sudut-sudut bingkai mataku. “Pak,  ada apa?” Tanyaku seperti orang kesurupan.
Bapak itu mematung, menatapku dengan tajam, andai tatapan bisa membunuh, mungkin aku sudah mendarat ke permukaan tanah tergeletak tak berdaya, menghela nafas berat “Bapakmu, nduk.”
Tanpa melanjutkan perbincangan, aku pun berlari, aku pun terkesiap, menatap seseorang yang berbalut selimut, tubuhnya membujur kaku. Mataku pun berpindah menatap ibu, dan adikku. Air matanya sudah tidak seperti biasanya, lingkaran hitam pada matanya timbul dengan jelas. Seperti habis menangis semalaman. Tak sadar, bungkusan sepatu Intan terlempar begitu saja ke lantai. Aku langsung memeluknya. Kalimat yang awalnya tersendat di lidahku, “Ya Allah, Bapak... Inna..lilahi.” Aku tak kuasa membendung air mataku, kini lafadz jelas terlontar dari mulutku. “Wainnailahi Rajiun. Bapaaaaak....” Isakanku tersenggal-senggal, aku berpaling menatap wajah ibu dan adikku, sangat jelas menyelipkan duka yang begitu betapa di tiap tetesan cairan yang keluar dari matanya. Aku pun menghampiri dua malaikatku yang tersisa, yakni ibu dan adikku yang duduk melantai. Dengan sangat hati-hati aku menekuk lututku dan menenggelamkan kedua tanganku pada pelukan ibu dan adikku.

“Jatuh di sawah..” Gumam Ibu.
“Ini nduk, buat sampeyan, dari bapak.” Ibu merenggangkan tangannya dan melepaskan pelukannya. Meraih tanganku dan menyodorkan sepucuk kertas dengan tulisan yang entah aku hanya berharap dapat membaca tulisannya.

Assalamualaikum, nak..
Maafkan jika tulisan bapak tak sanggup terbaca olehmu
Dengan sangat harap kamu bisa maklumi, Maaf bapak hanya tamatan SD yang tidak tamat
Bapak tidak dapat menulis sebagus tulisanmu
Maafkan bapak ya, nak, karena bapak hidupmu selalu disaksikan oleh duka
Maafkan bapakmu yang bodoh ini, nak, bapak sudah membaca catatan-catatanmu, menjadi guru bukan?
Dada bapak serasa sesak membaca tulisanmu
Kamu menggerakkan semangat bapak, “Alhamdulillah, anakku pingin jadi guru.”
Bapak dapat bangun lebih pagi, menggerakkan cangkul bapak
Bapak lebih bersemangat dan semakin hari semakin semangat
Entah apa yang akan Bapak jawab ketika malaikat maut bertanya pada Bapak  jika Bapak tak dapat memenuhi kewajiban sebagai Bapak
Alhamdulillah, bapak bisa beli sawah, nak..
Alhamdulillah, bapak bisa beli sapi..
Kamu bisa jual sapinya, Bapak titipkan di juragan Bandi
“Kamu harus bisa kuliah, nak” Itu nazar bapak.
Sekarang, berangkatlah nak, nyalakan semangatmu..
Kamu ingin memakai baju toga kan? Pakai baju togamu, nak..
Maafkan bapak ya, nak..
Doa bapak, restu bapak, setapak dengan langkahmu..
Wassalamualaikum..


Fibrina Audia Safitri

Sabtu, 26 Juli 2014



Kalau ga salah beberapa hari setalah un selesai, tepat ketika hari itu keluargaku mendapatkan cobaan berat. Ada salah satu temanku sms ke aku, awalnya  sms dia pada waktu itu kuanggap " guyon " ( bercanda ), yap memang dia selalu sering bercanda dg aku lewat sms, jadi sangat wajar pada waktu itu kuanggap smsnya merupakan gurauan semata. Tapi, temanku itu terus menerus berusaha meyakinkan bahwa itu bukanlah gurauan ataupun "guyonan". Hingga akhirnya aku mulai percaya dg temanku itu, dia memberikan beberapa bukti bahwa memang itu benar adanya. Kalau boleh jujur, sejak pertama temanku memberitahukan aku tentang itu, walau awalnya aku tak percaya, jujur aku sangat kaget dan sangat senang pada waktu itu. Beban masalah berat yg menimpaku pada saat itu akhirnya mulai ada penenangnya.

       Tak kusangka, Ternyata 3 tahun lamanya kusembunyikan didalam ruang yg tak terjangkau oleh siapapun, kini mulai terdapat titik terang. Setelah temanku berhasil meyakinkan aku, aku mulai memberanikan diri sedikit demi sedikit, hari tiap hari kucoba berinteraksi dg dia melalui pesan singkat (sms). Awalnya ku awali dg memberikan sedikit info masalah pendaftaran perguruan tinggi, hingga akhirnya aku mulai memberanikan diri bertanya masalah yg agak pribadi. Ini berlangsung selama beberapa hari.

            Beberapa hari setelah kita saling bertanya tentang masalah pribadi masing2, entah mengapa pada saat itu perasaanku tiba2 didatangi oleh ketakutan dan kekhawatiran yg cukup membuatku sangat resah. " Takut kehilangan, takut tak bisa bertemu lagi ". Mungkin itulah beberapa sebab mengapa saat itu aku resah. Hingga akhirnya kuucapkan juga pada hari itu perasaanku sebenarnya. Walaupun memang Dibilang terlalu cepat, jelas terlalu cepat. Dibilang terlalu aneh, memang aneh. Baru beberapa hari sms an sdh langsung menyatakan. Tapi bagaimana lagi, saat itu aku terlalu resah, ku coba minta nasehat kpd salah satu temanku, malah aku langsung disuruh menyatakan perasaanku kepadanya. Ditambah lagi temanku itu selalu berkata, " setelah ini lulus sma, kamu ga akan ketemu dia lagi, kapan lagi kalau engga sekarang. ", sehingga gara2 perkataan temanku itu, akhirnya aku terpancing untuk langsung menyatakan perasaanku kepadanya.  Dan parahnya lagi kuungkapkan perasaanku itu lewat sebuah pesan singkat. Padahal sebenarnya aku tak mau berpacaran dulu, dan aku aslinya tak suka yg namanya pacaran. Tapi gara2 terpancing oleh temanku, akhirnya aku tembak dia juga.